Bagaimanapun, Ponorogo bisa juga dikatakan sebagai daerah santri, karena di daerah ini banyak berdiri pondok pesantren, baik pesantren salaf maupun modern, termasuk Pondok Gontor yang terkenal itu. Tradisi dan kesenian rakyat Ponorogo juga cukup terkenal, yaitu REOG Ponorogo. Sudah tentu tradisi ini ada dengan membawa berbagai legenda dan mitos-mitosnya. Sejalan itu, berkembang pula berbagai macam aliran kepercayaan/kebatinan. Di lain pihak, masyarakat Ponorogo juga masih kental dengan tradisi “menjunjung tinggi” apa yang mereka sebut keturunan “darah biru”. Secara sosiologis, para tokoh masyarakat (atau ditokohkan) memang sebagian besar dari masyarakat “darah biru” ini.

Dengan demikian, melihat masyarakat Ponorogo secara antropologis tipologi masyarakat model Clifford Geertz (santri, priyayi, dan abangan) tampaknya masih cukup relevan.Kondisi daerah Ponorogo secara umum seperti digambarkan di atas sudah tentu berimplikasi pada desa-desa sewilayah ini, termasuk Desa Josari.

Josari adalah salah satu desa dari empat belas desa yang ada di Ibukota Kecamatan Jetis bahkan hampir seluruh perkantoran Kecamatan Jetis berada dan menempati Tanah Kas Desa Josari

Desa Josari terdiri dari tiga dukuh, yaitu Dukuh Josari Wetan, Dukuh Josari Kulon dan Dukuh Keben. Sebagian besar penduduknya adalah petani, buruh tani, pedagang, tukang batu/kayu dan kuli bangunan. Tingkat pendidikan masyarakat Josari, sebagian besar tamat SD dan SLTP. Lembaga pendidikan formal yang ada di Desa Josari antara lain : SDN I Josari, SDN II Josari,MI Al-Mansur, SMPN I Jetis, MTsN Jetis dan 2 buah lembaga pendidikan keagamaan ( TPA/TPQ ).

Kondisi sosial keagamaan masyarakat desa Josari cukup agamis. Setiap RT terdapat acara pengajian “yasinan” 2x dalam sebulan, baik bapak-bapak maupun ibu-ibu. Di desa ini terdapat 3 buah masjid dan 12 buah mushalla.